Sabtu, 31 Desember 2016

SEBUAH TEMPAT YANG BERNAMA KEMATANGAN



Ke mana buku-buku yang sudah kubaca di tahun ini membawaku pergi? Bagiku, pertanyaan ini sangat menarik. Sebab, hati kecil ini mengatakan secara sadar. Buku-buku itu telah membawaku ke sebuah tempat yang bermakna. Oleh karena itu, aku ingin bercerita melalui kesempatan ini. Bahwasanya, kedahsyatan buku benar-benar teruji. Banyak orang bisa terpengaruh lewat tulisan yang menggugah. Itulah yang terjadi padaku, sejak awal januari 2016 lalu.

Seingatku sejak awal januari 2016 lalu, hobi membacaku mulai merosot. Anime dan film-film Korea maupun Jepang lebih menarik minatku ketimbang buku. Berbeda sekali saat masih SMP, sebagian besar waktuku habis bersama buku, majalah dan koran. Istilahnya, otakku selalu lapar akan bacaan. Entah itu koran, novel yang bertema romansa dan religi, cerpen-cerpen tentang keseharian hidup dan opini ringan. Bahkan, kebiasaan itu masih bertahan hingga SMA. Diiringi dengan aktivitas sosialku yang bertambah seperti mengikuti OSIS dan ROHIS. Kondisinya malah berbalik saat aku menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya, pikiranku lebih banyak dimanjakan dengan dunia fiksi. Bahkan menghabiskan satu novel dalam beberapa jam saja pun aku sanggup melakukannya. Itu yang terjadi saat membaca novel-novel romansa religi yang ditulis oleh Habiburrahman El-Shirazy, Asma Nadia dan Helvi Tiana Rosa, para penulis favoritku hingga sekarang.

Meskipun jumlah buku yang kubaca sudah merosot di tahun ini, kupikir bacaanku mulai meluas. Tidak melulu kisah roman atau novel dengan konten yang terlalu dramatis. Aku mulai hijrah menuju bacaan yang dekat dengan realitas. Jika sebelumnya sangat menikmati bacaan fiksi yang mempesona, di tahun ini hatiku mulai tergerak mencari jati diri sesungguhnya dengan membaca tulisan yang lebih sesuai dengan kebutuhan batin.

Saat aku mulai mengerti bagaimana dunia orang dewasa, melihat peta Indonesia yang begitu luas, membaca data statistik penduduk yang kian meningkat, pengangguran di mana-mana bahkan itu temanku sendiri dan sulitnya mencari lapangan pekerjaan, batinku pun berteriak. Bahwa tak mudah menghadapi detik-detik waktu tanpa kematangan mental. Semenjak itulah aku mulai berpikir apa yang harus dipersiapkan menjelang fase-fase hidup berikutnya. Satu di antaranya adalah fase pasca kampus.

Soal genre buku, pada tahun 2016 bacaanku memang lebih banyak mengarah ke tema motivasi hidup, pengembangan diri dan paradigma berpikir serta gagasan segar seputar bisnis dan kreativitas. Hal itu berkaitan dengan pilihan pekerjaan yang akan kuseriusi yaitu menulis fiksi dan bisnis yang linear dengan dunia literasi.

Seingatku, ada sekitar puluhan buku yang telah kubaca. Tidak ingat jelas apa saja judulnya. Lagipula, hanya ada dua buku yang tuntas dilahap yaitu Sembilan Mata Air Kecemerlangan karangan Annis Matta dan Deadline Your Life karangan Solikhin Abu Izzuddin. Selain itu, buku-buku yang mewarnai hidupku di tahun 2016 antara lain, Fish Eye karangan Handoko Hendroyono, Career Snippet, Your Job is not Your Career dan Passion without Creation is Nothing karangan Rene Suhardono. Itulah buku-buku yang lebih dekat dengan realitas. Persis maksud kalimatku sebelumnya. Tenang saja, aku akan menceritakan alasan di balik pemilihan buku itu satu per satu.

Buku yang paling menyentuh secara personal jatuh pada karangan Annis Matta. Judunyal Sembilan Mata Air Kecemerlangan. Buku ini telah menjawab pertanyaan tentang bagaimana aku harus membuat keputusan penting menjelang pasca kampus. Selain Pak Annis Matta yang memiliki selera diksi sastra tingkat tinggi tanpa mengabaikan level kesulitan dalam memahaminya, buku ini juga sangat cocok untuk orang sepertiku. Di saat keluarga dan kampus tidak mampu menolongku mencari pilihan pekerjaan yang sesuai, kata-kata Annis Matta justru membuatku berpikir untuk menelusuri potensi dan kekuatan diri.  Saat aku hidup di tengah pola pikir keluarga dan masyarakat yang tidak peduli soal bakat, buku itu menguatkan pilihanku untuk memilih jalan yang melawan arus.

Your Job is not Your Career dan Passion without Creation is Nothing karangan Rene Suhardono turut mendukung pilihan pentingku dalam berkarir. Buku yang ditulis oleh seorang penggiat passion ini mengatakan sesuatu yang luar biasa. Passion lahir dari peleburan bakat dan profesi yang bisa kita nikmati sepenuh hati. Ternyata, menulis fiksi adalah passionku. Hanya dengan menulis aku mampu menyadari bahwa itulah pekerjaan yang mampu kucintai. Hanya pekerjaan menulis yang mampu mendorongku berpikir keras untuk menghasilkan banyak karya secara optimal. Bukan profesi yang lain. Sekalipun latar belakang pendidikanku saat ini di jalur keguruan dan pendidikan Universitas Tanjungpura.

Selanjutnya, ada buku Fish Eye karangan Handoko Hendroyono yang begitu memahami kekuranganku selama ini. Buku ini mengajariku banyak hal tentang kreativitas dan inovasi. Dengan bahasa yang ringan, Mas Handoko menceritakan karakter masyarakat Indonesia yang dominan tidak mau berpikir dalam. Ya, jelas saja. Sebab, banyak di antara mereka yang tidak mencintai pekerjaannya dengan tulus. Terjebak dengan dorongan kebutuhan materi dan paksaan menerima kondisi apa adanya. Tanpa berani mengambil tindakan ekstrim dengan keluar dari pekerjaan yang tidak sesuai dengan passion.

Terakhir, buku Deadline Your Life karangan Solikhin Abu Izzuddin. Sekalipun buku ini banyak membahas tentang urgensi mempersiapkan kematian, aku pikir buku-buku sebelumnya justru punya korelasi yang kuat dengan ini. Kematian yang bermakna bukan sekadar menyendiri dalam ibadah pokok. Tapi, mengisi peran dalam rentang usia yang Dia berikan juga poin penting menuju kematian yang baik.

Jadi, ke mana buku-buku yang sudah kubaca di tahun ini membawaku pergi? Buku-buku itu telah membawaku ke sebuah tempat yang bernama kematangan. Semuanya telah merefleksikan pencarian yang kutempuh. Pencarian jati diri sebagai seorang hamba, manusia dan mahasiswa tingkat akhir.

Rabu, 14 Desember 2016

SEBUAH KAMUS



Aku pernah kehilangan sebuah kamus bahasa Inggris. Buku setebal  4 cm dengan sampul plastik warna pink itu tidak pernah terlihat lagi sejak 6 tahun yang lalu. Padahal saat aku masih duduk di bangku SMA dulu, kamus itu sangat membantu di saat-saat genting. Misalnya, di saat pelajaran bahasa inggris, persiapan ujian sekolah dan nasional, bahkan saat ingin mengetahui makna lagu-lagu barat favoritku.
Kamus itu berasal dari pemberian kakakku yang sudah menjadi guru SMP di Sambas. Walaupun tidak mengajar bahasa inggris, tapi dia dapat berbicara dalam bahasa inggris dengan sangat lancar. Bagiku, itu hal yang sangat keren. Aku ingin sepertinya. Menjadi orang yang bisa menunjukkan kapasitas speaking yang hebat. Ya, ternyata berkat kamus itu, kakakku begitu handal bahkan dalam aspek writing.
Awalnya, aku memandang remeh kamus itu. Semua kertasnya juga sudah terlepas jika saja tidak dihubungkan dengan benang karung beras. Jenis kertasnya pun mirip kertas buram. Cover-nya juga terlihat kusam dan bergaris-garis akibat sering terlipat. Untung saja masih tersampul rapi. Jika diperhatikan, plastik sampulnya pun berasal dari bahan mantel tipis. Simpulannya, fisik kamus itu sangat tidak menarik.
Aku ingin membeli yang baru saja. Tapi, kakak melarangku. Dia bilang, kamus itu sangat bagus. Kalah saing dibanding kamus yang ada di pasaran. Hei, bagaimana bisa?
Ternyata, pemilik asli kamus itu adalah almarhum ayah. Saat masih hidup, ia berprofesi sebagai guru bahasa Inggris di SMP. Beliau membelinya di Jakarta. Pada tah
un 1991. Saat itu ada program pelatihan guru di sana.
Seketika, aku tercekat. Tidak menyangka betapa tuanya usia kamus itu. Saat ayah disebut-sebut, hatiku tiba-tiba rindu mendalam padanya secara otomatis. Kehilangannya di saat umur 7 tahun bukanlah hal yang mudah. Penopang hati, jiwa dan fisikku pergi di masa aku belum mampu mandiri.
Kakak pernah membuka setiap lembarannya di depanku. Demi menunjukkan kelebihan kamus tersebut. Benar saja. Kuperhatikan dengan seksama. Perbendaharaan katanya lebih lengkap dibanding kamus teman yang kupinjam. Bahkan koleksi idiomnya juga lebih banyak. Alhasil, dengan kamus itu aku mampu menerjemahkan naskah dongeng dengan baik. Pak guru memuji tugas yang kukerjakan. Hatiku menghangat. Rasanya kasih sayang ayah mengalir begitu saja. Sekalipun dia tiada di dunia nyata.
Sejak itu, aku berjanji akan menyukai bahasa inggris dan meraih nilai tinggi di ujian sekolah maupun nasional. Kerja kerasku tidak sia-sia. Impian itu telah menjadi kenyataan. Bahkan sampai sekarang, aku tergolong mampu berbicara dalam bahasa Inggris lancar.
Namun, kini kamus itu hilang tanpa jejak. Sedang berada di tangan siapa atau tergeletak di mana, aku tidak tahu sama sekali. Aku sedikit merutuk, bagaimana bisa aku melupakan barang sepenting itu? Rasanya, ada bagian dari diriku yang turut hilang. Berteriak ingin ditemukan.
Rasanya, aku kembali kehilangan ayah. Untuk kedua kalinya. Sebab, mengenangnya sama seperti mengenang segala sesuatu tentang dia. Kadang, sedih dan pilu mendominasi. 
Tapi, sisi hatiku yang lain telah menguatkan. Bahwasanya, kehilangan tidak boleh dibiarkan menggigit habis asa yang kumiliki. Aku harus menatap ke depan. Membaca prediksi apa yang akan terjadi di esok hari. Bukan terpasung oleh kesedihan di masa lalu. Bahwa aku harus tetap melanjutkan perjalanan hidup dengan bekal yang telah ayah titipkan. Lewat isi kamus yang hilang. 



Tulisan ini dibuat untuk memenuhi #tantangannulis #BlueValley bersama Jia Effendie.

#bluevalley
#tantangannulis 

 
Powered by Blogger