Ke mana buku-buku
yang sudah kubaca di tahun ini membawaku pergi? Bagiku, pertanyaan ini sangat
menarik. Sebab, hati kecil ini mengatakan secara sadar. Buku-buku itu telah
membawaku ke sebuah tempat yang bermakna. Oleh karena itu, aku ingin bercerita
melalui kesempatan ini. Bahwasanya, kedahsyatan buku benar-benar teruji. Banyak
orang bisa terpengaruh lewat tulisan yang menggugah. Itulah yang terjadi
padaku, sejak awal januari 2016 lalu.
Seingatku sejak
awal januari 2016 lalu, hobi membacaku mulai merosot. Anime dan film-film Korea
maupun Jepang lebih menarik minatku ketimbang buku. Berbeda sekali saat masih
SMP, sebagian besar waktuku habis bersama buku, majalah dan koran. Istilahnya,
otakku selalu lapar akan bacaan. Entah itu koran, novel yang bertema romansa
dan religi, cerpen-cerpen tentang keseharian hidup dan opini ringan. Bahkan,
kebiasaan itu masih bertahan hingga SMA. Diiringi dengan aktivitas sosialku
yang bertambah seperti mengikuti OSIS dan ROHIS. Kondisinya malah berbalik saat
aku menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dibanding dengan tahun-tahun
sebelumnya, pikiranku lebih banyak dimanjakan dengan dunia fiksi. Bahkan menghabiskan
satu novel dalam beberapa jam saja pun aku sanggup melakukannya. Itu yang
terjadi saat membaca novel-novel romansa religi yang ditulis oleh Habiburrahman
El-Shirazy, Asma Nadia dan Helvi Tiana Rosa, para penulis favoritku hingga
sekarang.
Meskipun jumlah
buku yang kubaca sudah merosot di tahun ini, kupikir bacaanku mulai meluas. Tidak
melulu kisah roman atau novel dengan konten yang terlalu dramatis. Aku mulai
hijrah menuju bacaan yang dekat dengan realitas. Jika sebelumnya sangat
menikmati bacaan fiksi yang mempesona, di tahun ini hatiku mulai tergerak
mencari jati diri sesungguhnya dengan membaca tulisan yang lebih sesuai dengan
kebutuhan batin.
Saat aku mulai
mengerti bagaimana dunia orang dewasa, melihat peta Indonesia yang begitu luas,
membaca data statistik penduduk yang kian meningkat, pengangguran di mana-mana
bahkan itu temanku sendiri dan sulitnya mencari lapangan pekerjaan, batinku pun
berteriak. Bahwa tak mudah menghadapi detik-detik waktu tanpa kematangan
mental. Semenjak itulah aku mulai berpikir apa yang harus dipersiapkan
menjelang fase-fase hidup berikutnya. Satu di antaranya adalah fase pasca
kampus.
Soal genre buku,
pada tahun 2016 bacaanku memang lebih banyak mengarah ke tema motivasi hidup,
pengembangan diri dan paradigma berpikir serta gagasan segar seputar bisnis dan
kreativitas. Hal itu berkaitan dengan pilihan pekerjaan yang akan kuseriusi
yaitu menulis fiksi dan bisnis yang linear dengan dunia literasi.
Seingatku, ada
sekitar puluhan buku yang telah kubaca. Tidak ingat jelas apa saja judulnya. Lagipula,
hanya ada dua buku yang tuntas dilahap yaitu Sembilan Mata Air Kecemerlangan
karangan Annis Matta dan Deadline Your Life karangan Solikhin Abu Izzuddin. Selain
itu, buku-buku yang mewarnai hidupku di tahun 2016 antara lain, Fish Eye
karangan Handoko Hendroyono, Career Snippet, Your Job is not Your Career dan
Passion without Creation is Nothing karangan Rene Suhardono. Itulah buku-buku
yang lebih dekat dengan realitas. Persis maksud kalimatku sebelumnya. Tenang saja,
aku akan menceritakan alasan di balik pemilihan buku itu satu per satu.
Buku yang
paling menyentuh secara personal jatuh pada karangan Annis Matta. Judunyal
Sembilan Mata Air Kecemerlangan. Buku ini telah menjawab pertanyaan tentang
bagaimana aku harus membuat keputusan penting menjelang pasca kampus. Selain
Pak Annis Matta yang memiliki selera diksi sastra tingkat tinggi tanpa
mengabaikan level kesulitan dalam memahaminya, buku ini juga sangat cocok untuk
orang sepertiku. Di saat keluarga dan kampus tidak mampu menolongku mencari
pilihan pekerjaan yang sesuai, kata-kata Annis Matta justru membuatku berpikir
untuk menelusuri potensi dan kekuatan diri.
Saat aku hidup di tengah pola pikir keluarga dan masyarakat yang tidak
peduli soal bakat, buku itu menguatkan pilihanku untuk memilih jalan yang
melawan arus.
Your Job is not
Your Career dan Passion without Creation is Nothing karangan Rene Suhardono turut
mendukung pilihan pentingku dalam berkarir. Buku yang ditulis oleh seorang
penggiat passion ini mengatakan sesuatu yang luar biasa. Passion lahir dari
peleburan bakat dan profesi yang bisa kita nikmati sepenuh hati. Ternyata, menulis
fiksi adalah passionku. Hanya dengan menulis aku mampu menyadari bahwa itulah
pekerjaan yang mampu kucintai. Hanya pekerjaan menulis yang mampu mendorongku
berpikir keras untuk menghasilkan banyak karya secara optimal. Bukan profesi
yang lain. Sekalipun latar belakang pendidikanku saat ini di jalur keguruan dan
pendidikan Universitas Tanjungpura.
Selanjutnya,
ada buku Fish Eye karangan Handoko Hendroyono yang begitu memahami kekuranganku
selama ini. Buku ini mengajariku banyak hal tentang kreativitas dan inovasi. Dengan
bahasa yang ringan, Mas Handoko menceritakan karakter masyarakat Indonesia yang
dominan tidak mau berpikir dalam. Ya, jelas saja. Sebab, banyak di antara
mereka yang tidak mencintai pekerjaannya dengan tulus. Terjebak dengan dorongan
kebutuhan materi dan paksaan menerima kondisi apa adanya. Tanpa berani
mengambil tindakan ekstrim dengan keluar dari pekerjaan yang tidak sesuai
dengan passion.
Terakhir, buku Deadline
Your Life karangan Solikhin Abu Izzuddin. Sekalipun buku ini banyak membahas
tentang urgensi mempersiapkan kematian, aku pikir buku-buku sebelumnya justru
punya korelasi yang kuat dengan ini. Kematian yang bermakna bukan sekadar
menyendiri dalam ibadah pokok. Tapi, mengisi peran dalam rentang usia yang Dia
berikan juga poin penting menuju kematian yang baik.
Jadi, ke mana buku-buku
yang sudah kubaca di tahun ini membawaku pergi? Buku-buku itu telah membawaku
ke sebuah tempat yang bernama kematangan. Semuanya telah merefleksikan
pencarian yang kutempuh. Pencarian jati diri sebagai seorang hamba, manusia dan
mahasiswa tingkat akhir.