Aku pernah kehilangan
sebuah kamus bahasa Inggris. Buku setebal 4 cm dengan sampul plastik warna pink itu
tidak pernah terlihat lagi sejak 6 tahun yang lalu. Padahal saat aku masih
duduk di bangku SMA dulu, kamus itu sangat membantu di saat-saat genting. Misalnya,
di saat pelajaran bahasa inggris, persiapan ujian sekolah dan nasional, bahkan
saat ingin mengetahui makna lagu-lagu barat favoritku.
Kamus itu
berasal dari pemberian kakakku yang sudah menjadi guru SMP di Sambas. Walaupun tidak
mengajar bahasa inggris, tapi dia dapat berbicara dalam bahasa inggris dengan
sangat lancar. Bagiku, itu hal yang sangat keren. Aku ingin sepertinya. Menjadi
orang yang bisa menunjukkan kapasitas speaking
yang hebat. Ya, ternyata berkat kamus itu, kakakku begitu handal bahkan dalam
aspek writing.
Awalnya, aku
memandang remeh kamus itu. Semua kertasnya juga sudah terlepas jika saja tidak
dihubungkan dengan benang karung beras. Jenis kertasnya pun mirip kertas buram.
Cover-nya juga terlihat kusam dan
bergaris-garis akibat sering terlipat. Untung saja masih tersampul rapi. Jika diperhatikan,
plastik sampulnya pun berasal dari bahan mantel tipis. Simpulannya, fisik kamus
itu sangat tidak menarik.
Aku ingin
membeli yang baru saja. Tapi, kakak melarangku. Dia bilang, kamus itu sangat
bagus. Kalah saing dibanding kamus yang ada di pasaran. Hei, bagaimana bisa?
Ternyata,
pemilik asli kamus itu adalah almarhum ayah. Saat masih hidup, ia berprofesi
sebagai guru bahasa Inggris di SMP. Beliau membelinya di Jakarta. Pada tah
un
1991. Saat itu ada program pelatihan guru di sana.
Seketika, aku
tercekat. Tidak menyangka betapa tuanya usia kamus itu. Saat ayah
disebut-sebut, hatiku tiba-tiba rindu mendalam padanya secara otomatis. Kehilangannya
di saat umur 7 tahun bukanlah hal yang mudah. Penopang hati, jiwa dan fisikku
pergi di masa aku belum mampu mandiri.
Kakak pernah
membuka setiap lembarannya di depanku. Demi menunjukkan kelebihan kamus
tersebut. Benar saja. Kuperhatikan dengan seksama. Perbendaharaan katanya lebih
lengkap dibanding kamus teman yang kupinjam. Bahkan koleksi idiomnya juga lebih
banyak. Alhasil, dengan kamus itu aku mampu menerjemahkan naskah dongeng dengan
baik. Pak guru memuji tugas yang kukerjakan. Hatiku menghangat. Rasanya kasih
sayang ayah mengalir begitu saja. Sekalipun dia tiada di dunia nyata.
Sejak itu, aku
berjanji akan menyukai bahasa inggris dan meraih nilai tinggi di ujian sekolah
maupun nasional. Kerja kerasku tidak sia-sia. Impian itu telah menjadi
kenyataan. Bahkan sampai sekarang, aku tergolong mampu berbicara dalam bahasa Inggris
lancar.
Namun, kini
kamus itu hilang tanpa jejak. Sedang berada di tangan siapa atau tergeletak di
mana, aku tidak tahu sama sekali. Aku sedikit merutuk, bagaimana bisa aku melupakan
barang sepenting itu? Rasanya, ada bagian dari diriku yang turut hilang. Berteriak
ingin ditemukan.
Rasanya, aku
kembali kehilangan ayah. Untuk kedua kalinya. Sebab, mengenangnya sama seperti
mengenang segala sesuatu tentang dia. Kadang, sedih dan pilu mendominasi.
Tapi, sisi hatiku yang lain telah menguatkan. Bahwasanya,
kehilangan tidak boleh dibiarkan menggigit habis asa yang kumiliki. Aku harus
menatap ke depan. Membaca prediksi apa yang akan terjadi di esok hari. Bukan
terpasung oleh kesedihan di masa lalu. Bahwa aku harus tetap melanjutkan
perjalanan hidup dengan bekal yang telah ayah titipkan. Lewat isi kamus yang
hilang.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi #tantangannulis #BlueValley bersama Jia Effendie.
#bluevalley
#tantangannulis
0 komentar :
Posting Komentar