Rabu, 14 Desember 2016

SEBUAH KAMUS



Aku pernah kehilangan sebuah kamus bahasa Inggris. Buku setebal  4 cm dengan sampul plastik warna pink itu tidak pernah terlihat lagi sejak 6 tahun yang lalu. Padahal saat aku masih duduk di bangku SMA dulu, kamus itu sangat membantu di saat-saat genting. Misalnya, di saat pelajaran bahasa inggris, persiapan ujian sekolah dan nasional, bahkan saat ingin mengetahui makna lagu-lagu barat favoritku.
Kamus itu berasal dari pemberian kakakku yang sudah menjadi guru SMP di Sambas. Walaupun tidak mengajar bahasa inggris, tapi dia dapat berbicara dalam bahasa inggris dengan sangat lancar. Bagiku, itu hal yang sangat keren. Aku ingin sepertinya. Menjadi orang yang bisa menunjukkan kapasitas speaking yang hebat. Ya, ternyata berkat kamus itu, kakakku begitu handal bahkan dalam aspek writing.
Awalnya, aku memandang remeh kamus itu. Semua kertasnya juga sudah terlepas jika saja tidak dihubungkan dengan benang karung beras. Jenis kertasnya pun mirip kertas buram. Cover-nya juga terlihat kusam dan bergaris-garis akibat sering terlipat. Untung saja masih tersampul rapi. Jika diperhatikan, plastik sampulnya pun berasal dari bahan mantel tipis. Simpulannya, fisik kamus itu sangat tidak menarik.
Aku ingin membeli yang baru saja. Tapi, kakak melarangku. Dia bilang, kamus itu sangat bagus. Kalah saing dibanding kamus yang ada di pasaran. Hei, bagaimana bisa?
Ternyata, pemilik asli kamus itu adalah almarhum ayah. Saat masih hidup, ia berprofesi sebagai guru bahasa Inggris di SMP. Beliau membelinya di Jakarta. Pada tah
un 1991. Saat itu ada program pelatihan guru di sana.
Seketika, aku tercekat. Tidak menyangka betapa tuanya usia kamus itu. Saat ayah disebut-sebut, hatiku tiba-tiba rindu mendalam padanya secara otomatis. Kehilangannya di saat umur 7 tahun bukanlah hal yang mudah. Penopang hati, jiwa dan fisikku pergi di masa aku belum mampu mandiri.
Kakak pernah membuka setiap lembarannya di depanku. Demi menunjukkan kelebihan kamus tersebut. Benar saja. Kuperhatikan dengan seksama. Perbendaharaan katanya lebih lengkap dibanding kamus teman yang kupinjam. Bahkan koleksi idiomnya juga lebih banyak. Alhasil, dengan kamus itu aku mampu menerjemahkan naskah dongeng dengan baik. Pak guru memuji tugas yang kukerjakan. Hatiku menghangat. Rasanya kasih sayang ayah mengalir begitu saja. Sekalipun dia tiada di dunia nyata.
Sejak itu, aku berjanji akan menyukai bahasa inggris dan meraih nilai tinggi di ujian sekolah maupun nasional. Kerja kerasku tidak sia-sia. Impian itu telah menjadi kenyataan. Bahkan sampai sekarang, aku tergolong mampu berbicara dalam bahasa Inggris lancar.
Namun, kini kamus itu hilang tanpa jejak. Sedang berada di tangan siapa atau tergeletak di mana, aku tidak tahu sama sekali. Aku sedikit merutuk, bagaimana bisa aku melupakan barang sepenting itu? Rasanya, ada bagian dari diriku yang turut hilang. Berteriak ingin ditemukan.
Rasanya, aku kembali kehilangan ayah. Untuk kedua kalinya. Sebab, mengenangnya sama seperti mengenang segala sesuatu tentang dia. Kadang, sedih dan pilu mendominasi. 
Tapi, sisi hatiku yang lain telah menguatkan. Bahwasanya, kehilangan tidak boleh dibiarkan menggigit habis asa yang kumiliki. Aku harus menatap ke depan. Membaca prediksi apa yang akan terjadi di esok hari. Bukan terpasung oleh kesedihan di masa lalu. Bahwa aku harus tetap melanjutkan perjalanan hidup dengan bekal yang telah ayah titipkan. Lewat isi kamus yang hilang. 



Tulisan ini dibuat untuk memenuhi #tantangannulis #BlueValley bersama Jia Effendie.

#bluevalley
#tantangannulis 

0 komentar :

Posting Komentar

 
Powered by Blogger